Rabu, 13 Februari 2013

Etika Profesi Akuntansi


1. Nama perusahaan yang melanggar etika profesi ?

Dampak Lumpur Lapindo Sidoardjo sebagai Bukti Pencemaran Terhadap Lingkungan Hidup

2. analisis mengenai kasus Lumpur Lapindo Sidoarjo ?

Telah terjadi peristiwa luapan Lumpur Lapindo Sidoarjo Surabaya, Jawa Timur pada Tanggal 28 Mei 2006, sekitar pukul 22.00, karena terjadinya kebocoran gas hidrogen sulfida (H2S) di areal ladang eksplorasi gas Rig TMMJ # 01, di lokasi Banjar Panji perusahaan PT. Lapindo Brantas (Lapindo) di Desa Ronokenongo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo. Dimana kebocoran gas tersebut berupa semburan asap putih dari rekahan tanah, membumbung tinggi sekitar 10 meter. Semburan gas tersebut disertai keluarnya cairan lumpur dan meluber kelahan warga. Semburan lumpur panas di kabupaten Sidoarjo sampai saat ini belum juga bisa teratasi. Semburan yang akhirnya membentuk kubangan lumpur panas ini telah memporak-porandakan sumber-sumber penghidupan warga setempat dan sekitarnya. Kompas edisi Senin (19/6/06), melaporkan, tak kurang 10 pabrik harus tutup, dimana 90 hektar sawah dan pemukiman penduduk tak bisa digunakan dan ditempati lagi, begitu pula dengan tambak-tambak bandeng, belum lagi jalan tol Surabaya-Gempol yang harus ditutup karena semua tergenang lumpur panas. Berdasarkan data yang didapat WALHI Jawa Timur, yang mencatat jumlah pengungsi di lokasi Pasar Porong Baru sejumlah 1110 Kepala Keluarga dengan Rincian 4345 jiwa dan 433 Balita, Lokasi Kedung Bendo jumlah pengungsi sebanyak 241 Kepala Keluarga yang terdiri dari 1111 Jiwa dan 103 Balita, Lokasi Balai Desa Ronokenongo sejumlah 177 Kepala keluarga dengan rincian 660 jiwa.
Didalam kasus luapan Lumpur lapindo, telah terjadi juga aspek pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM),  dimana PT Lapindo Brantas Inc. telah merugikan masyarakat dalam pelbagai segi, misalnya, ekonomi, sosial, dan budaya, tidak dapat dibayangkan, terdapatnya ribuan pekerja kehilangan mata pencaharian, produktivitas kerja masyarakat menurun, ribuan (bahkan jutaan dimasa yang akan datang) anak terancam putus sekolah, dan perekonomian Jawa Timur tersendat. Sampai pada era Reformasi di Tahun 2009 terhadap penegakan hukum atas kasus lumpur Lapindo tak kunjung dapat terselesaikan dengan secara damai. Kebijakan politik minus etika lebih dikedepankan ketimbang aspek keadilan masyarakat. Dari berbagai aspek yang seharusnya merupakan tanggung jawab sepenuhnya PT Lapindo Brantas Inc./PT Energi Mega Persada yang mencakup aspek pelanggaran hak asasi manusia (HAM), hukum, politik, perdata dan pidana. Lambannya penyelesaian kasus lumpur Lapindo, WALHI mengupayakan adanya cara yang ditempuh oleh masyarakat melalui DPR (Public Inquiry), guna meminta pertanggung jawaban PT Lapindo Brantas Inc dari kasus tersebut.

Dalam Bab IX, Undang-Undang No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan telah diatur sanksi pidana (penjara dan denda) terhadap badan hukum yang melakukan pencemaran. Selanjutnya, pada pasal 46 UU No.23/1997 dinyatakan bila badan hukum terbukti melakukan tindak pidana, maka sanksinya dijatuhkan selain terhadap badan hukum, juga terhadap mereka yang memberi perintah atau yang menjadi pemimpin dalam perbuatan tersebut. Dan Inpres No. 1/1976 tentang sinkronisasi pelaksanaan tugas bidang keagrariaan dengan bidang kehutanan, pertambangan, transmigrasi dan pekerjaan umum, Undang Undang No. 11/1967. Lokasi pemboran Sumur BJP-1, dan Perda Kabupaten Sidoarjo No.16 tahun 2003.

Akibat Dampak luapan Lumpur Panas, mengakibatkan banyaknya lingkungan fisik yang rusak, kesehatan warga setempat juga terganggu, yang menyebabkan infeksi saluran pernapasan dan iritasi kulit, karena lumpur tersebut juga mengandung bahan karsinogenik jika menumpuk di tubuh dapat menyebabkan penyakit serius seperti kanker, mengurangi kecerdasan, yang berdasarkan uji laboratorium terdapat kandungan bahan beracun dan berbahaya (B3) yang melebihi ambang batas. Dalam sampel lumpur dan dianalisis oleh laboratorium uji kualitas air terdapatnya fenol berbahaya untuk kesehatan dan kontak langsung di kulit dapat membuat kulit seperti terbakar dan gatal-gatal dimana efek sistemik atau efek kronis bisa disebabkan fenol masuk ke tubuh melalui makanan.

Berdasarkan pengamatan WALHI, dari pelbagai aspek yang mesti menjadi tanggung jawab PT Lapindo Brantas Inc./PT Energi Mega Persada mencakup aspek pelanggaran hak asasi manusia (HAM), hukum, politik, perdata dan pidana., sangat lambannya penyelesaian kasus lumpur Lapindo, dimana WALHI akan mengupayakan suatu tindakan public inquiry, yang merupakan upaya yang akan ditempuh oleh masyarakat melalui Dewan Perwakilan Rakyat, untuk meminta pertanggung jawaban PT Lapindo Brantas In dengan menugaskan Jaksa Agung dapat ditunjuk sebagai pengacara negara untuk menuntut PT Lapindo Brantas Inc. terkait dengan kejahatan lingkungan dan pelanggaran multi-dimensi akibat lumpur panas, yang disebabkan kebocoran Gas yang beracun. Ada beberapa pendapat mengenai penyebab bocornya gas yang disertai meluapnya lumpur Lapindo yang telah dijelaskan tersebut diatas.

3. Pendapat atau Kesimpulan mengenai kasus Lumpur Lapindo Brantas?

Jujur saja, sebagian besar dari kita sudah lupa bahwa entah ada berapa ribu saudara kita yang masih menanggung sengsara akibat semburan lumpur dari fenomena mud volcano di Sidoarjo. Kalaupun di antara kita ada yang mengingatnya, maka itu sudah tidak lagi menjadi agenda yang penting, apalagi pokok. Kesengsaraan saudara-saudara kita itu telah tertutupi oleh berita-berita lain yang lebih menghebohkan, seperti kisah pelarian Nazaruddin hingga tertangkapnya dia, dan entah apa kelanjutannya kelak.

Syukurlah, CSR Asia menegur ketidaksadaran kita. Lembaga promotor CSR paling terkemuka di kawasan Asia-Pasifik itu menurunkan analisis atas kejadian tersebut dari sudut pandang "Ruggie Framework on Business and Human Rights" (CSR Asia Newsletter, 3 Agustus 2011). Menurut Matthew Guenther, penulis artikel itu, apabila kerangka tersebut kita gunakan, ada beberapa hal yang perlu dan belum dilakukan oleh pemerintah dan PT Lapindo Brantas, anak usaha Kelompok Usaha Bakrie (KUB).

Tiga hal terpenting: pertama, penegakan hukum lingkungan untuk melindungi masyarakat dan lingkungan di Sidoarjo. Kedua, pernyataan bersalah dari KUB dan keharusan untuk membantu pemerintah menyelesaikan dampak negatif yang timbul. Ketiga, pengembangan kerangka penyelesaian masalah yang komprehensif, bukan hanya berupa ganti rugi, tapi juga rencana pemindahan penduduk yang menjamin tidak turunnya kesejahteraan mereka yang dipindahkan.

Ganti rugi sangatlah tidak cukup untuk menolong masyarakat yang terkena bencana. Hak asasi mereka dalam ekonomi, sosial, budaya, dan lingkungan harus dilindungi. Karena itu, sebuah kerangka kerja yang komprehensiflah yang harus dipakai. Pendek kata, kehidupan mereka harus dikembalikan minimal seperti sediakala.

 

Kalau memang proses pengadilan kemudian memutus Lapindo bersalah, sudah seharusnya seluruh biaya yang dikeluarkan untuk menyelesaikan masalah ini secara komprehensif dibebankan kepada mereka. Namun, sebelum ada putusan seperti itu, pemerintah seharusnya menanggung semua biaya yang muncul dalam pelaksanaan kerangka komprehensif yang diajukan oleh Guenther tersebut. Sejumlah uang yang telah dikeluarkan oleh KUB seharusnya diperhitungkan ketika nanti sudah ada putusan hukum tetap. Ihwal hal ini, sulit kiranya menjalankan saran kedua Guenther bahwa KUB menyatakan dirinya bersalah dan bertanggung jawab. Jelas, kalau di dunia akademik yang relatif obyektif saja terjadi perselisihan, di dunia bisnis yang penuh kepentingan sangatlah sulit mengharapkan hal itu terjadi.

Mungkin yang paling penting kita ambil dari saran Guenther adalah penegakan hukum lingkungan yang serius. Dan ini bukan hanya untuk kasus Lapindo. Bagaimanapun, ada terlampau banyak kasus pelanggaran hukum lingkungan di Indonesia yang sangat merugikan masyarakat. Kabar buruknya, para pelakunya banyak sekali yang melenggang bebas. Ke depan, kita perlu mempelajari "Ruggie Framework" dengan teliti, kemudian memeriksa dengan jernih apakah kerangka tersebut memang dikehendaki oleh para pemangku kepentingan di Indonesia. Organisasi masyarakat sipil yang bergerak di bidang hak asasi sangat penting untuk mempelajarinya segera, lalu menyebarluaskan ke masyarakat awam. Kalau memang dikehendaki dan nantinya diterapkan untuk menapis investasi, kiranya kita bisa mencegah banyak tragedi HAM termasuk bencana lingkungan yang disebabkan oleh perusahaan.

Kesimpulan :


Ø  Bahwa pelanggaran kejahatan ekonomi yang di timbulkan oleh korporasi (Lumpu Lapindo) telah mencemarkan lingkungan di sekitarnya, terlebih lagi telah menenggelamkan beberapa desa di sekitar bencana tersebut.
Ø  Bahwa semburan lumpur lapindo telah merugikan warga yang tempat tinggalnya terendam lumpur, dengan ganti rugi yang tidak menunjang kehidupan harus diperhatikan secara serius oleh pemerintah.
Ø  Bahwa subjek/petinggi korporasi harus bertanggungjawab atas terjadinya luapan lumpur lapindo yang menenggelamkan rumah warga.